Sudah
beberapa bulan ini, pertentangan antara mayarakat Tanjung Lokang dengan Taman
Nasional Betung Kerihun (TNBK) mengalami peningkatan. implikasi TNBK terlihat pada kehidupan
ekonomi, politik dan kebudayaan
masyarakat Tanjung Lokang.
Hal ini juga menjadi sebuah ancam terhadap kehidupan masyarakat Punan Hovongan yang telah mengalami diskriminasi Seperti minimnya fasilitas pendidikan, kesehatan dan berbagai pebangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan. Keterbatasan orang Hovongan hanya dimanfaatkan, puncaknya, perampasan tanah ulayat oleh TNBK. Masyarakat Tanjung Lokang saat ini telah menyadari bahwa, TNBK telah melakukan perampasan tanah ulayat warisan leluhur suku Punan Hovongan sejak peningkatan status Cagar Alam menjadi Taman Nasional Betung Kerihun melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.467/Kpts-II/1995 dan penetapan batas kawasan secara sepihak pada tahun 1999 melalui Surat Keputusan No.510/Kpts-II/1999.
Sebelumnya mereka masih
tidak yakin apakah tanah tersebut telah dirampas atau belum. Orang Hovongan
sadar tanahnya telah dirampas seiring dengan berbagai usaha TNBK menegakkan
peraturan secara sepihak di wilayah ketemenggungan mulai dari zonanisasi dan
penancapan pal batas zona sejak keluarnya pedoman zona Taman Nasional No.56
tahun 2006, program penghijauan tahun 2010, berbagai bentuk pelarangan dan
operasi terhadap kerja emas yang dilakukan oleh penduduk lokal yang telah
mengakibatkan penderitaan yang parah. TNBK sama sekali mengabaikan hukum adat
suku Hovongan dalam menjalankan aktivitas dan operasinya. Bila pun mengakui,
hanya dimulut saja, dalam kenyataannya tidak.
TNBK
tidak pernah memberikan penjelasan memadai dan terbuka mengenai kedudukannya di
tanah ulayat, pemilik tanahkah, penumpangkah. Bila TNBK adalah pemilik tanah,
kapan orang Hovongan menyerahkan tanah ulayatnya pada TNBK untuk dijadikan
sebagai taman nasional dan bagaimana prosesnya ? Bila numpang atau pinjam,
kenapa TNBK berusaha mengatur dan membatasi dan melarang aktivitas hidup
masyarakat seolah-olah TNBK-lah yang menguasai tanah tersebut ?
Sebagai
reaksi terhadap keadaan tersebut, beberapa bulan lalu masyarakat Tanjung Lokang
menyegel kantor resort TNBK di desa dan masih berlangsung sampai saat ini.
Menghadapi permasalahan ini, TNBK selalu mengatakan bahwa yang melakukan
penyegelan tersebut hanya “segelintir orang”, alhasil hanya meminta bantuan
kepala desa membuka segel, dan bahkan mengancam akan menangkap dan memenjarakan
yang melakukan penyegelan. Pandangan dan sikap TNBK terhadap penyegelan kantor
resortnya di Tanjung Lokang semakin menunjukkan tidak adanya itikad untuk
memahami aspirasi dann kepentingan rakyat dengan sungguh-sungguh.
Ungkapan-ungkapan TNBK yang menyatakan bahwa penyegelan ini dilakukan oleh
“sebagian” masyarakat sangat tidak berdasar dan hanya upaya meredam perlawanan
masyarakat dengan upaya yang kejam dengan memecah belah kekerabatan di desa. Tidak
hanya itu.
Pandangan TNBK yang menganggap masalah ini sebagai ulah sebagian
kecil orang adalah keliru dan menyakitkan. Akibat dari pandangan ini, TNBK
berusaha menekan kepala desa dan temenggung bahkan menyebar-luaskan ancaman
penangkapan terhadap yang dianggap pelaku. Cara-cara semacam itu selain tidak
akan membuahkan hasil bahkan semakin memperuncing pertentangan orang Hovongan
dengan TNBK. Perlu dijelaskan bahwa ini adalah aspirasi seluruh orang Hovongan
karena kami sangat berkepentingan untuk mempertahankan hukum adat dan tanah
ulayat untuk berladang, kerja emas dan berburu. Sehingga kepala desa dan
temenggung atau siapapun pun harus tunduk pada kepentingan orang banyak. Bila
ingin menyelesaikan masalah ini maka TNBK harus meminta bantuan pimpinan suku
dan pimpinan desa untuk bertemu dengan seluruh masyarakat dan memberikan keterangan
sebenar-benarnya mengenai status hukum adat atas tanah ulayat kami. Kami yang
berhak mengatur TNBK atau TNBK yang berhak mengatur kami, ini akan memperjelas
siapa sesungguhnya pemilik tanah ini sekarang “tutur masyarakat Punan
Hovongan”.
Penyegelan
Kantor Resort TNBK Tanjung Lokang adalah bentuk perjuangan atas tindakan TNBK
yang tidak mengakui dan menghormati hukum adat dan hak tanah ulayat suku
Hovongan. Penyegelan ini adalah reaksi atas hak dan lebih dari itu, kebebasan
yang terancam dan kehormatan yang terusik. Orang Punan Hovongan tidak pernah
mendapat penjelasan yang jelas mengenai nasib tanah ulayatnya dan kedudukan
TNBK sendiri serta nasib hukum adat yang seharusnya berlaku di atas tanah
ulayat itu tersebut. Seringkali petugas-petugas TNBK hanya berbicara bahwa
tanah ini tetap menjadi milik orang Hovongan sekalipun telah ada SK menteri
kehutanan tentang penetapan wilayah Taman Nasional Betung Kerihun dan juga
telah membuat zona-zona yang tidak dimengerti tujuan dan kedudukannya oleh masyarakat
terutama kaitannya dengan keberadaan tanah ulayatnya. Hal ini diperuncing lagi
oleh adanya berbagai operasi di wilayah ketemenggunggan Punan Hovongan di Hulu
Kapuas tanpa seijin Temenggung dan Pimpinan Adat lainnya. Peraturan-peraturan
tersebut setahap demi setahap menindas dan menghilangkan kebebasan orang
Hovongan untuk mencari penghidupan untuk bertahan hidup dan meningkatkan taraf
hidupnya secara bebas.
Sikap
ketidak berpihaknya pemerintah melalui, TNBK menghadapi penyegelan ini semakin
membuka wajah aslinya yang berlawan dengan aspirasi dan kepentingan rakyat.
Bahkan yang sengaja disebar-luaskan dalam masyarakat adalah para pelaku
penyegelan adalah segelintir orang, akan ada penangkapan, dan berbagai isu lain
yang menciptakan keresahan dan perpecahan. TNBK dengan sengaja dan dengan
berbagai cara cuci tangan atas berbagai masalah yang ditimbulkannya sejak
berdirinya taman nasional di atas tanah ulayat Orang Hovongan. Mereka
meletakkan seluruh masalah ini seolah-olah ulah orang Hovongan, dan menghindari
akar masalah sesungguhnya yaitu mereka sendiri. TNBK hanya bersurat pada kepala
desa meminta difasilitasi membuka kantor tanpa pengakuan dan penghormatan atas
tuntutan umum masyarakat yang telah mengemuka maupun belum dengan keberadaan
TNBK di sini. Sehingga masyarakat saling menekan satu sama lain dan melupakan
bahwa akar masalahnya adalah TNBK.
Sebenarnya, sebelum TNBK datang orang
Hovongan telah mengalami berbagai bentuk penindasan seperti perlakuan yang
tidak adil (diskriminasi) dari negara sebagaimana orang Dayak umumnya.
Berladang, kerja emas dan berburu sama sekali tanpa bimbingan dan bantuan
negara. Berbagai sarana dan prasarana hanya mimpi. Pendidikan jauh tertinggal
dengan angka buta huruf dan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas, demikian
pula kesehatan, listrik, jalan dan jembatan. Masyarakat berharap besar mendapat perhatian
dari negara, dan negara harusnya merasa bersalah karena telah mengabaikan hak
rakyat puluhan tahun. Akan tetapi hal tersebut tidak pernah terjadi dan malah
membantu kehadiran TNBK yang kembali menambah kesengsaraan dengan dirampasnya
hak ulayat secara terselubung. Satu-satunya jalan dalam penyelesaian penyegelan
ini adalah TNBK harus mengakui dan menghormati hukum adat dan tanah ulayat
milik orang Hovongan.
Bukan orang Hovogan yang berada dalam TNBK tetapi
TNBK-lah yang berada di atas tanah orang Hovongan. Hukum adat ini tidak boleh
dipertentangkan dengan hukum nasional atau dengan kepentingan nasional, karena
orang Hovongan adalah juga bagian dari bangsa dan rakyat Indonesia. Kepentingan
orang Hovongan adalah kepentingan nasional. Sebab bila bukan kepentingan
nasional institusi negara dan TNBK mendorong separatisme.
Orang
hovongan hanya meminta agar hukum adatnya dihormati, sebab bila hukum adat
betul-betul dihormati maka tanah ulayat yang melekat pada hukum adat atau
wilayah di mana hukum adat itu berlaku, harus dikembalikan. Masyarakat
betul-betul menginginkan penjelasan sejelas-sejelasnya dari TNBK mengenai
masalah ini