Program Kami


Mendorong Rekognisi Hak Milik Komunal Masyarakat Adat Atas Tanah Dan Wilayah Hutan Serta Kekayaan Alamnya Sebagai Jaminan Untuk Penyelamatan Hutan Hujan Kalimantan Dari Ancaman Deforestasi Dan Degradasi Oleh Investasi Industri Ekstraktif


Kalimantan Barat merupakan salah satu Propinsi yang berada di Pulau Kalimantan. Luas Wilayah Propinsi Kalimantan Barat 146.807 km² atau 1,13 kali luas pulau Jawa. Daerah Kalimantan Barat dilalui oleh garis Khatulistiwa (garis lintang 0o) tepatnya di Kota Pontianak. Karena pengaruh letak geografis demikian maka Propinsi Kalimantan Barat memiliki musim tropik dengan suhu udara cukup tinggi serta diiringi kelembaban yang tinggi.

Jumlah penduduk tahun 2009 kurang lebih 4.010.338 juta jiwa. Dari total populasi tersebut jika dilihat berdasarkan suku bangsa, maka mayoritas dari penduduk Kalimantan Barat adalah suku Dayak 37%,  Melayu 37%, Cina 23%, jawa 10%, dan 5% adalah suku bangsa yang lainnya, seperti bugis, Madura, toraja dsb. Dilihat dari serapan tenaga kerja, mayoritas penduduk Kalimantan barat atau sebesar 80 % adalah kaum tani. Yang kami maksud dengan kaum tani adalah mereka yang hidup dan bekerja diatas tanah dan menjadikan tanah sebagai sasaran kerja utamanya. Selebihnya adalah nelayan, buruh serta pedagang kecil di perkotaan. Kalimantan Barat dikategorikan sebagai wilayah agraris jika melihat mayoritas penduduknya, sebab mereka mengolah alam dan tanah untuk mempertahankan hidupnya.

Kekayaan bumi Kalimantan Barat yang paling utama adalah luasnya tanah, hal ini bisa dilihat dari kepadatan penduduknya 28/Km/Orang serta areal untuk pemukiman hanya berkisar  0,83 %. Jenis tanahnya sangat baik sekali untuk usaha pertanian, perkebunan dan lainnya. Kawasan Hutan Kalimantan merupakan nyawa kehidupan bagi penduduk Kalimantan.Setidaknya 9.178.760 ha atau 57,68 % dari seluruh luasan Kalimantan Barat adalah kawasan hutan. Disamping itu bumi Kalimantan Barat mengandung kekayaan alam yang luar biasa khusunya tambang mineral, batu bara, minyak serta gas. Mengacu kepada data NSDAS Propinsi Kalimantan Barat Tahun 2005, sebanyak 181.663.975 Ton Batubara terdapat di dalam perut bumi Kalimantan barat, Minyak dan Gas Bumi 561.470.000 STBM, Radio Aktif 24.112 Ton, Mangan 2.415.935 Ton, Bauksit 895.743.918 Ton, Besi 103.740.000 Ton, Timbal 300.000 Ton, Seng 35.064 Ton, Emas Semua Kabupaten di Propinsi Kalbar 590.905.997 gram.
Luas tanah dengan kawasan hutan tropis yang tumbuh diatasnya serta didalamnya terkandung deposit kekayan tambang tidak sebanding lurus dengan keadaan masyarakatnya. 

Dimana kemiskinan masih menjadi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Kalimantan Barat. Berita Resmi Statistik Provinsi Kalimantan Barat No. 37/08/61/Th. XIV, 5 Agustus 2011 menunjukan bahwa angka kemiskinan di Kalimantan Barat sampai dengan Maret 2011mencapai 380.110 orang (8,60 %). Jumlah angka kemiskinan terbanyak bedomisili di pedesaan  295.640 orang (77,78 %) sedangkan yang berdomisili di perkotaan sebanyak 84.470 orang (22,22 %). Hitungan angka kemiskinan yang dikeluarkan oleh Badan Statistik Kalimantan Barat tersebut menggunakan metode menghitung Garis Kemiskinan (GK) dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM) yang kemudian indikatornya pendapatannya dikonversi kedalam nilai uang yakni Rp. 206.850,- perkapita/bulan (2011). Jadi jika indikator pendapatan tersebut dinaikkan menjadi Rp. 802.500,- perkapita/bulan sesuai dengan kebutuhan hidup minimum standar UMR Kalimantan Barat 2011maka angka kemiskinan menjadi 1.474.683 orang (33,36 %). Deret pembuktian keterbelakangan masyarakat Kalimantan Barat bertambah panjang dengan angka penganggurannya mencapai  26,83 % (Pengangguran Terbuka 4,62 % dan Setengah Pengangguran  22,21 %) dari jumlah angkatan kerja serta Indek Pembangunan Manusia Kalimantan Barat secara nasional nomor 29 dari 33 Propinsi di Indonesia dengan 66,2 point (2010).

Ketimpangan antara kekayaan alam kalimantan dengan kemiskinan masyarakatnya disebabkan oleh pada pandangan negaradalam melihat tanah dan kawasan hutan yang berorientasi pada investasi industri ekstraktif dan mengabaikan optimalisasi produktifitas masyarakat. Sehingga disatu sisi pelaku bisnis diberi karpet merah untuk mengeksploitasi tanah dan kawasan hutan serta kekayaan alam, disisi lain masyarakat diabaikan bahkan digusur dari wilayah kehidupannya. Cerminan dari orientasi ini bisa dilihat dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara serta undang-undang sektoral lainnya. Orientasi Undang – Undang tersebut di Kalimantan Barat sebagai karpet merah bagi investasi industri ekstraktif dapat dilihat dari luasan konsesi yang diberikan.

Orientasi negara yang demikian menyebabkan terampasnya tanah dan kawasan hutan serta kekayaan alam yang selama ini menjadi pondasi hidup dan penghidupan masyarakat adat di Kalimantan Barat. Buktinya pada tahun 2010 luas total Prop. Kalimantan Barat 58,45 % (8.581.415 Ha) sudah di kapling oleh investasi industri ekstraktif. Dengan pembagian 359 perusahaan perkebunan kelapa sawit mendapatkan konsesi seluas 6,3 juta Ha (IUP 4,7 Ha dan HGU 1,5 juta Ha), perusahaan HTI mendapatkan konsesi seluas 781.415 Ha dan 625 perusahaan pertambangan mendapatkan konsesi seluas 1,5 juta Ha. Dengan terampasnya pondasi hidup dan penghidupan masyarakat menjadikan masyarakat tidak lagi memiliki kedaulatan atas pangan sehingga rentan akan kekurangan pangan. Menurut data resmi Kalimantan Barat Dalam Angka 2010, hasil padi ladang masyarakat antara tahun 2005 – 2009 (5 tahun) mengalami penurunan hingga mencapai angka 80,48 % yakni pada tahun 2005 padi ladang menghasilkan 209.978 ton beras dan pada tahun 2009 hasil padi ladang hanya menghasilkan 168.992 ton beras. Penurunan produksi beras dari hasil ladang sebanding lurus dengan menurunnya luasan areal pertanian ladang yang rata-rata pertahuan antara tahun 2005 – 2009 mengalami penyusutan luasan hingga 82,82 % yakni pada tahun 2005 luas areal perladangan 105.051 Ha dan pada tahun 2009 luas areal perladangan menyusut menjadi 87.007 Ha.

Terampasnya tanah dan kawasan hutan serta kekayaan alam yang selama ini menjadi pondasi hidup dan penghidupan masyarakat adat juga menjadikan hukum adat yang menjadi pedoman hidup masyarakat tinggal ritual belaka. Pranata sosial yang arif dan bijaksana dengan pedoman hukum adat dan dikontrol oleh lembaga adat tergantikan oleh pranata sosial baru yang jauh dari nilai-nilai harmoni. Kondisi sosial akan bertambah parah dengan ancaman konflik baik konflik vertikal antara masyarakat dan perusahaan dan konflik horizontal yang terjadi antar masyarakat. Dengan operasinya industri ekstraktif seperti perkebunan, pertambangan dan kehutanan (HTI) menjadikan kesehatan masyarakat rentan, penyakitakan muncul akibat polusi udara maupun tercemarnya sumber air seperti penyakit TBC, Penyakit Kulit, Kangker, dsb.

Berpindahnya penguasaan atas tanah dan kawasan hutan serta kekayaan alam dari kepemilikan komunal masyarakat adat ke tangan investasi industri ekstraktif secara nyata, ilmiah dan tidak terbantahkan telah mengakibatkan terjadinya deforestasi dan degradasi yang semakin hebat. Padahal sebagaimana kita ketahui bahwa deforestasi dan degradasi berdampak pada menurunnya daya dukung ekologi yang akan menjadikan: 1).Mempercepat laju perubahan iklim akibat pemanasan globak efek emisi gas rumah kaca, karena tanah dan tutupan hutanyang selama ini mampu mengikat (menyerap dan melepaskan) karbon sehingga iklim dunia dapat stabil, malah mengirimkan emisi hingga 20 % (data UNDP); 2).Tidak stabilnya suplai dan kuwalitas air, dimana tanah dengan tutupan hutan yang memiliki kemampuan penyerapan danpenahanair fungsinya menjadi hilang; 3). Sempitnya wilayah hidup binatangyang bergantung kepada Hutan, dan; 4). Punahnya keanekaragaman hayati langka dan unik yang terdapat di Kalimantan Barat.

Jadi dapat disimpulkan bahwa deforestasi dan degradasi wilayah Kalimantan Barat penyebab utamanya adalah invetasi industri ekstraktif karena terbukti aktifitas yang dilakukan secara destruktif. Padahal secara jelas didalam menjalankan usahanya perusahaan memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan. Salah satu contohnya dalam UU No. 4 tahun 2009 Pasal 3 ayat b tentang Pertambangan Mineral dan Batubara secara tegas menyebutkan bahwa kegiatan pertambangan mineral dan batubara harus menjamin manfaat secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup. Dan secara khusus tanggung jawab lingkungan diatur didalam UU No.32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. Namun demikian, kebijakan tersebut masih belum mampu menahan laju deforestasi dan degradai di Kalimantan Barat.

Atas kondisi objektif yang telah dipaparkan diatas, Link-AR Borneo berpandangan untuk menyelamatkan hutan hujan kalimantan yang sekaligus menyelamatkan dunia dari bencana global perubahan iklim akibat pemanasan global efek gas rumah kaca maka rekognisi hak milik komunal masyarakat adat atas tanah dan kawasan hutan serta kekayaan alamnya adalah keharusan. Karena realitas obyektif membuktikan masyarakat adat sudah teruji didalam mengelola dan memanfaatkan tanah dan kawasan hutan serta kekayaan alamnya untuk pemenuhan hidup dan penghidupannya secara adil dan lestari. Rekognisi hak milik komunal masyarakat adat atas tanah dan kawasan hutan serta kekayaan alam sejalan dengan UUD 1945, UUPA No. 5 Th. 1960, UU No. 41 Tentang Kehutanan serta Deklarasi PBB Tentang Masyarakat Adat. Rekognisi ini akan memberikan jaminan masyarakat adat untuk kembali mengelola dan memanfaatkan wilayahnya secara adil dan lestari. Prinsip FPIC (Free, Prior, Informed and Consent)harus dihargai oleh parapihak agar masyarakat adat mendapatkan hak milik komunalnya yang hilang.

Penguatan kelembagaan dan revitalisasi aturan hukum adat akan menjadi payung bagi masyarakat adat dalam pengelolaan hutan secara adil, lestari dan mensejahterakan masyarakat. Serta, bagi pelaku usaha akan ada jaminan kepastian hukum wilayah konsesinya yang tidak bertabrakan dengan kepentingan masyarakat dan lingkungan, sehingga terhindar dari konflik sosial dan konflik ekologi sebagaimana yang sering terjadi selama ini. Dengan kepastian hukum bagi dunia usaha akan menjamin stabilitas dalam mengembangkan usahanya.

Peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam melakukan pemetaan dan audit potensi ekologi serta ekonomi serta bekal keterampilan pengelolaan lahan ramah lingkungan akan mendorong terjadinya intensifikasi usaha pertanian dalam meningkatkan produktifitas hasil pertanian yang tidak boros penggunaan areal tanah. Dalam tata guna lahan peningkatan produktifitas pengolahan lahan akan dilakukandiareal (zona) budidaya tanaman pangan dan tanaman komoditi. Produktifitas tanaman pangan dilakukan agar kedaulatan dan daya tahan pangan masyarakat benar-benar dapat terjamin, sedangkan peningkatan tanaman komoditi dilakukan untuk menjamin peningkatan pendapatan masyarakat dari usaha pertanianya sehingga pemenuhan kebutuhan sosial lainnya dapat berjalan lebih baik. Dalam perencanaan tata guna lahan akan ditentukan peruntukan untuk kawasan cadangan, peruntukan untuk kawasan konservasi, peruntukan untuk infrastruktur serta peruntukan untuk investasi. Untuk meningkatkan produktifitas masyarakat penting untuk memberikan suntikan modal sehingga masyarakat dapat melakukan akselerasi usahanya.

Selaian itu, agar industri ekstraktif yang menjalankan usahanya benar-benar dapat menghargai masyarakat dan lingkungan sebagai hakekat dari upaya penegakan hukum yang adil maka bekal keterampilan investigatif niscaya harus dimiliki oleh masyarakat. Dengan penegakan hukum yang adil maka praktek destruktif yang menyebabkan terjadinya deforestasi dan degradasi dapat terminimalisasi. Dan, semua pihak khususnya perusahaan secara optimal harus menjalankan kewajiban sosial dan tanggung jawab lingkungan.Keberhasilan maupun upaya yang sedang dijalankan oleh masyarakat dalam menjaga tanah dan kawasan hutan serta kekayaan alamnya dari ancaman deforestasi dan degradasi penting untuk di promosikan.Hal ini dilakukan agar upaya yang sedang dilakukan oleh masyarakat mendapatkan dukungan publik secara luas dan keberhasilan upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjadi percontohan untuk direplikasi diwilayah yang lain.

Strategi kerja yang kami rumuskan adalah menjadikan masyarakat sebagai penerima dan pelaku sekaligus penerima manfaat program ini. Kami menyadari bahwa tidak mungkin goal gagasan ini dapat tercapai jika tidak terjalin kerjasama parapihak yang setara. Maka dalam program ini akan mendorong kerjasama semua pihak yang erat antara Pemerintah, Pelaku Bisnis, NGO, Akademisi, Media dan kelompok kepentingan lainnya sehingga setiap aktivitasnya dapat selaras satu sama yang lain.

Jadi niscaya dengan gagasan yang didorong oleh Link-AR Borneo akan menjadi pondasi dalam penyelematan hutan hujan tropis di Kalimantan. Dengan selamatnya hutan hujan tropis Kalimantan maka akan terwujud ketahanan pangan masyarakat dan peningkatan taraf kesejahteraan ekonomi masyarakat. Serta akan menjaga supply dan kwalitas air secara teratur dan baik, flora dan fauna dapat kembali berkembang biak dan keanekaragaman hayati langka dan unik yang terdapat di Kalimantan Barat dapat terjaga dari kepunahan. Dan, dunia akan terhindar (setidak-tidaknya ancamannya berkurang) dari bencana global perubahan iklim akibat pemasan global efek emisi gas rumah kaca.